Postingan

Refleksi Dua Tahun Pernikahan: Asing di Negara sendiri

Tulisan ini aku tulis di meja ruang tamu rumah mertua. Pada bulan ini, kami akan merayakan ulang tahun perkawinan yang kedua. Tepatnya tanggal 24 Februari nanti. Meja ruang tamu ini sungguh menjadi saksi naik turunnya hati proses pernikahan. Sungguh, bohong jika sebuah pernikahan akan selalu diselimuti kebahagiaan. Malah, pahit getir akan sering dirasakan dalam membangun mahligai rumah tangga. Terlebih, bagiku yang sangat minim pengetahuan dalam membangun ilmu pengetahuan yang ideal. Tulisan ini sangat aku fokuskan untuk meringankan beban sendiri serambi mengoreksi diri sendiri. Sangat berhati-hati agar benar-benar menjadi sebuah raport pribadi yang dapat membangun masa depan. Pernikahan banyak macamnya. Aku tidak bisa membandingkan pernikahanku dengan orang lain. Tapi aku sebisa mungkin menilai diriku sebagai seorang suami dan ayah dalam sebuah dunia terkotak yang memiliki jendela. Aku mampu melihat dunia luar tapi sebaik apapun aku menginginkan dunia di luar jendela itu, itu hany

Surat Untuk Istriku 2

Sudah mendekati setahun berada di negara Taiwan. Sungguh peluang yang sangat menakjubkan. Lebih-lebih, masuk dalam universitas dengan rangking yang tinggi di negara ini. Seringkali, orang-orang mengatakan bahwa universitas terbaik nomor dua setelah NTU. Memilih universitas ini pun dulu tiba-tiba. Pemrosesan pendaftaran hingga VISA saya kategorikan sangat cepat.  Menjalani perkuliahan yang hampir separuh waktu, tentu aku bisa menilai betapa sulitnya mengikuti perkembangan belajar di sini. Tapi sebenarnya karena aku memilih kursus-kursus yang cukup sulit. Lagi-lagi, penilaian di sini selalu menggunakan sistem distribusi nilai. Iklim belajar adalah iklim kompetitif. Belajar master  harusnya tak coba-coba, apalagi kalau belum tahu apa-apa. Lebih-lebih kalau belajar master hanya untuk menjinakkan hasrat di jiwa. Perlu persiapan yang matang dan modal yang cukup kuat agar tidak tetinggal jauh. Hingga akhir-akhir ini, masih saja sering mendapat nilai sekitar enam. Dan kini kuk

Surat Rindu untuk Oktober

Kemarin istri bertanya, apa arti surat rindu untuk Oktober. Serta merta ku jawab, tulisan spesial untuknya yang akan bertambah usia. Setiap kali dia berulang tahun, aku selalu teringat pertama kali mengirimkan pesan singkat kepadanya, "maukah kamu menjadi bagian penting dalam hidupku?" Ya, itu adalah bagian lamaran yang terselip. Tetapi berbeda dengan perempuan, terkadang mereka ingin kata-kata yang terangkai manis menjadi kata-kata yang serba jelas. Jawabnya,"maksudnya apa?, aku tidak paham." Mungkin karena aku bertanya dengan tiba-tiba, itu pun lewat pesan singkat. Sudah tak tahan memang hidup sendiri dan menyendiri. Sudah tak tahan memang dengan perasaan bersalah karena tak kunjung menikah. Sudah tak tahan memang, dengan pertemanan yang tanpa berujung. Ku jawab lagi,"maukah kau menjadi istriku?" Entah apa yang di balik pikirannya. Dia tidak menanyakan alasan kenapa aku ingin menikah dengannya. Dia bilang "bersedia". Ah, salah satu fase

Sepersen Motivasi, Sejuta Aksi: Awardee pun bisa Galau

Perjalanan dari perpustakaan hari ini menuai sebuah kisah. Perbincanganku dengan teman terkait rencana apa yang akan dilakukan setelah selesai nanti. Perbincangan dimulai dengan pembahasan jurusan kuliah. Lagi-lagi, aku sempat galau kalau membahas ini dengan siapapun. Tak seyakin wawancara dulu. Wawancara apakah? Seberkas kisah wawancara beasiswa LPDP beberapa tahun silam. Dengan duduk tegap, pakaian rapi bak manajer bank, dan tak lupa kemeja baru berdasi biru, aku menatap para interviewer dengan sangat yakin. Dengan Bahasa inggris terbata-bata, aku jawab semampuku. Pertanyaan terkait kenapa memilih jurusan Materials Science, aku jawab dengan yakin bahwa jurusan ini paling tepat dengan minat penelitianku. Para pewawancarapun mengangguk-ngangguk tanda mereka percaya. Pertanyaan berikutnya, mengundang gelak tawa. Pertanyaan terkait apa rencanaku setelah lulus nanti. Aku jawab aku ingin menjadi dosen. Bisa dibilang, jabatan ini sudah dianggap "remeh-temeh" oleh pewawanca

Kuliah di National Tsing Hua University, Taiwan

Sejak memutuskan pindah negara tujuan studi, dari Malaysia ke Taiwan, rasanya ini berat sekali. Semenjak datang di sini, meski Taiwan tak bersalju, suhu sehari-hari adalah sepuluh derajat selsius. Dari bangun tidur sampai bangun lagi harus memakai jaket gunung. Bedcover dan kasur semua terasa anyes. Bisa dikatakan bedcover hangat karena tubuh kita sendiri. Semenjak tahu cuaca dingin tak bersalju ini cukup menusuk membuatku tak ingin melihat salju lagi. Kuliah di sini, kami dicampur dengan mahasiswa lokal. Tak ada spesial-spesialnya bagi mahasiswa internasional. Malah-malah, menjadi kelas nomor dua. Bisa dikatakan, orang-orang Taiwan yang cenderung terstruktur membuatku malu betapa kacaunya kehidupan di negeri sendiri. Di sini, segala sesuatu harus antri dan menyiapkan payung, hingga kita tak ada alasan berteduh jika sedang mengantri. Semenjak masuk kelas pertama kali, kesan pertama adalah berat sekali. Berapa lama otakku ini sudah bersemedi tak berkutik dengan bangku perkuliahan. Di

Taiwan: Tentang Pendidikan dan Seorang Suami

Sejenak ingin menulis untuk menjernihkan kembali apa yang telah diisi. Tulisan ini dirasa perlu untuk menjawab banyak pertanyaan sama. Tulisan tentang bagaimana negara Taiwan dan bagaimana pendidikannya saya rasa sudah biasa. Sekali kita search di youtube bagaimana cara berkuliah di Taiwan, ribuan jawaban keluar dengan cenderung isi yang sama. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena ribuan warga Indonesia sedang berkuliah di Taiwan. Sistem komparasi dengan menjadi mahasiswa di negara lain tentu akan menariik kesimpulan bahwa berkuliah di Taiwan itu biasa saja. Pun, tahun ini aku adalah satu-satunya awardee LPDP yang memilih Taiwan sebagai negara tujuan. Satu tahun yang lalu, diskusi dengan istri tentang negara tujuan studi sangat menarik. Pada dasarnya, kami memilih negara Malaysia sebagai tujuan berkuliah, dengan alasan dekat dengan Indonesia tentunya. Selain hal tersebut, kemampuan Bahasa Inggris kami yang tergolong spesial, sulit untuk menjangkau IELTS 6.5 pada masanya. Pada d

Ibu, Aku ingin menikah

Ibu, Aku ingin menikah oleh Agung Purnomo Bismillah. Tulisan ini hanya sebagai pelentur pikiran yang seyogyanya otak ini sedang dipaksa untuk mengejar ketertinggalan bahasa untuk melengkapi amanah kepada negara. Tulisan ini insyaAllah adalah sebuah manifestasi pandangan, penglihatan, diskusi, dan proses panjang selama satu tahun ini memaknai sebuah keinginan menikah. Tulisan ini jauh dari benar dan hanya termotivasi untuk menyampaikan hal baik dari sisi sendiri. Menilik dua tahun lalu, dengan geregetnya pengajian ustad Salim Afillah, Ustad Cahyadi, Ustad Fauzil Adhim yang begitu menggugah naga dalam hati untuk menikah. Sebelumnya, bertargetan ingin membina karir dan merencanakan menikah antara umur 28 hingga 30 tahun. Sebagai anak kecil yang dididik di lingkungan konvensional, seorang pemuda dihadapkan pada fenomena menjadi hebat dulu hingga mapan. Orang tua senantiasa memotivasiku untuk membuat rumah dahulu, secara tidak sadar, keinginan beliau menjadi target yang berjejer di p